Skema Peradilan Indonesia

peradilan indonesia


Tata Peradilan Indonesia

SISTEM PERADILAN INDONESIA

A.    Mahkamah Agung

Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi yang memegang kekuasaan kehakiman di dalam negara Republik Indonesia. Dalam trias politika, MA mewakili kekuasan yudikatif. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. 

 Tugas dan Wewenang

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang MA adalah:

a.       Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang

  1. Mengajukan tiga orang anggota Hakim Konstitusi
  2. Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi

 Fungsi

a. Fungsi Peradilan

1)

Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.

2)

Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir

          permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)

          semua sengketa tentang kewenangan mengadili.

          semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)

3)

Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

b. Fungsi Pengawasan

1)

Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).

2

Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :

          terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

          Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985)

c. Fungsi mengatur

1)

Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

2)

Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

d. Fungsi nasehat

1)

Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.

2)

Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

e. Fungsi Administratif

1)

Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

2)

Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

f. Fungsi lain-lain

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

 

B. Mahkamah Konstitusi

        Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kewajiban dan wewenang

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum

2. Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

         Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan tiga tahun. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

 

C. Peradilan Umum

 1.Pengadilan Tinggi

 Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi selaku salah satu kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilam Umum, dalam pasal 51 menyatakan :

(1)  a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di Tingkat Banding.

(2)  b. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di Tingkat Pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

              Disamping tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut diatas pengadilan juga dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum kepada Instansi Pemerintah di daerahnya apabila diminta (pasal 52 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2004). Dan selain tugas dan kewenangan diatas pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang (pasal 52 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2004). Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

2.Pengadilan Negeri

           Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi wilayah Kota atau Kabupaten.
Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.

3. Pengadilan Khusus

Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum yaitu:

1.      Pengadilan anak ( UU no.3 tahun 1997)

2.      Pengadilan niaga ( UU no. 37 tahun 2004)

3.      Pengadilan HAM ( UU no. 26 tahun 2000)

4.      Pengadilan tindak pidana korupsi ( UU no. 30 tahun 2002)

5.      Pengadilan hubungan industrial ( UU no. 2 tahun 2004)

6.      Pengadilan pajak ( UU no.14 tahun 2002)

 

D. Peradilan Agama

1. Pengadilan Tinggi Agama

           Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

           Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris 

Jadi tugas dan wewenang pengadilan tinggi agama adalah :

a.       Mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

  1. Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. 

2. Pengadilan Agama

           Pengadilan Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan

b. warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

c. wakaf dan shadaqah

d. ekonomi syari’ah

            Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. 

 

E. Peradilan Militer

1. Pengadilan Militer Tinggi

           Pengadilan Militer Tinggi merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Selain itu, Pengadilan Militer Tinggi juga memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Pengadilan Militer Tinggi juga dapat memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.

2. Pengadilan Militer

         Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.

         Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum Pengadilan Militer ditetapkan melalui Keputusan Panglima. Apabila perlu, Pengadilan Militer dapat bersidang di luar tempat kedudukannya bahkan di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama

 

F. Peradilan Tata Usaha Negara

1. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

           Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTTUN dan Wakil Ketua PTTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris

2. Pengadilan Tata Usaha Negara

           Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

           Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris

 


Tata Urutan Perundang Undangan

Sejak tahun 1966, tata urutan perundang-undangan RI mengalami perubahan, tetapi pada dasarnya sama.
a.       Tata urutan perundang-undangan RI menurut ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah sebagai berikut:
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Keputusan Presiden
6.      Peraturan Pelaksana lain seperti:
-Instruksi Presiden
-Peraturan Menteri
-Keputusan Menteri
-Instruksi Menteri
b.      Tata urutan perundnag-undangan RI menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 adalah sebagai berikut:
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      Undnag-undang
4.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
5.      Peraturan Pemerintah
6.      Keputusan Presiden
7.      Peraturan Daerah I
8.      Peraturan Daerah II
c.       Tata urutan perundang-undang menurut UU No. 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Dasar Negara RI thaun 1945
2.      Undang-Undang/Perturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3.      Peraturan Pemerintah
4.      Peraturan Presiden
5.      Peraturan Daerah.

Minimnya Kesadaran Hukum

Menurut Penjelasan UUD 1945, negara Indonesia adalah negara Hukum, negara yang berdasarkan Pancasila dan bukan berdasarkan atas kekuasaan.Untuk menegakkan hukum tersebut dibentuk Badan-Badan kehakiman yang kokoh kuat, tidak di pengaruhi oleh lembaga-lembaga lainnya. Namun apa yang terjadi sekarang ini? Kesadaran dalam menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaannya belum sepenuhnya di jiwai oleh bangsa ini. Banyak terdapat pelanggaran hukum yang terjadi, baik yang dilakukan oleh para pejabat maupun rakyat biasa.

Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia sekarang ini sepertinya menghilang dari diri masyarakat Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran terus saja terjadi, mungkin itu juga dikarenakan oleh badan-badan penegak hukum yang terlalu lemah dalam melaksanakan tugasnya. Terlalu lemah karena banyak sekali terlihat oleh kita, para tesangka yang seharusnya mendapatkan hukuman yang berat malah mendapatkan hukuman yang ringan, bahkan bisa terbebas dari hukuman tersebut, sebut saja para koruptor kelas kakap. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan oleh pengaruh kekuasaan/kekayaan yang dimiliki oleh para tersangka. Tentu saja itu sangat bertentangan dengan salah satu ciri negara Hukum, yaitu ”Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak”. Itu baru saja terjadi terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang sekitar Rp 6 miliar dari Arthalyta, atau dengan kata lain adalah uang suap, yang di gunakan untuk menghilangkan pelanggaran yang telah terjadi. Belum lagi para koruptor yang menggunakan uang rakyatnya untuk menyuap para jaksa agar dirinya dianggap tidak melakukan korupsi.

Hal tersebut sangat membuktikan bahwa kesadaran hukum di negara ini sangat lemah. Salah satu ciri negara hukum lainnya adalah ”Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan”, juga kurang dirasakan akan pentingnya kesadaran dalam menjiwainya. Hal itu dapat terlihat dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh para aparat keamanan terhadap mahasiswa UNAS , juga FPI yang melakukan tindak kekerasan terhadap aliansi kebangsaan. Tentu saja hal tersebut melanggar HAM.

Kuranganya kesadaran hukum yang lainnya antara lain adalah dalam bidang lalu lintas, pelanggaran banyak dilakukan oleh kendaraan beroda dua, misalnya saja tidak memakai helm saat berkendaraan, menerobos lampu merah, tentu saja itu sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu kita sebagai warga negara Indsonesia yang baik, wajib memiliki kesadaran hukum. Karena dengan adanya kesadaran hukumlah negar kita akan makmur, aman, dan damai. Mari kita semua bangkitkan Indonesia dengan menegakkan hukum yang ada.


Melek Hukum

Indonesia adalah negara berbentuk Republik yang memiliki dasar hukum, hukum memang sangat perlu di tegakkan di semua negara karna hukum memang dasar yang penting untuk mengatur tatanan negara. dengan hukum kehidupan bernegara dan warga negara akan lebih tertib dan teratur sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan.

pendidikan mengenai hukum memang diperlukan, tak hanya bagi pejabat,politisi,atau ahli hukum saja. namun menyeluruh pada semua aspek dan lapisan masyarakat. namun pada prakteknya, tak banyak orang yang tau tentang hukum, bahkan untuk sekedar tau.

pendidikan mengenai hukum memang sangat penting dan seharusnya wajib diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat. setidaknya di ajarkan dasar- dasar hukum sejak pada bangku sekolah menengah atas. agar terjadi kesadaran akan hukum dan penekakan penekanan akan pelanggaran hukum itu sendiri. tak hanya pada siswa- siswi sekolah menengah atas saja , namun pada mahasiswa dan semua kalangan masyarakat. walaupun bukan mahasiswa jurusan hukum, pendidikan tentang hukum memang harus diajarkan sebagai dasar atau pegangan hukum bagi bekal mahasiswa, agar tidak terlalu buta dan awam tentang hukum.

bagi masyarakat yang tidak lagi mengenyam pendidikan, bisa dilakukan sosialisasi sosialisasi tentang hukum itu sendiri. baik di pelosok desa maupun di kota. karna hukum di butuhkan dimana saja. di daerah daerah pelosok atau pedesaan, penyuluhan atau sosialisasi mengenai hukum bisa menekan tindakan pelanggaran hukum, karena banyak kasus kasus pelanggaran didesa, yang salah satunya disebabkan karena mereka buta hukum, bagi para pelanggar hukum pun, dilakukan tidak sesuai prosedur atau tidak semestinya.

apabila semua kalangan masyarakat sudah sadar dan melek hukum, selain diharapkannya penurunan tingkat pelanggaran hukum juga diharapkan bisa mengantisipasi atau meminimalisir para oknum oknum yang meraup keuntungan yang tidak seharusnya. masyarakat yang awam sering kali di tipu dari segi materi . diharapkan dengan penyuluhan atau sosialisasi tentang hukum pada masyarakat, setidaknya membuat masyarakat tau tentang apa itu huku, sangsi apa yang kita peroleh jika kita melanggar hukum , dan bagaimana kita sebagai warga negara berperan dalam menegakkan hukum di indonesia.

demokrasi pun akan lebih berjalan efektif dan tertib jika masyarakat tau etika etika atau hukum dalam berdemokrasi atau menyalurkan pendapat. apabila semua berjalan sesuai prosedur, pastinya akan tercipta kehidupan bernegara yang nyaman,tertib dan selaras. selain itu juga meringankan beban para penegak hukum dam mengatasi pelanggaran hukum yang ada.

tanpa perlu menunggu pemerintah bertindak, kita sebagai para pelajar dan kalangan terpelajar hendaknya membantu untuk mensosialisasikan pendidikan hukum dimasyarakat luas. tidak harus lengkap atau menyeluruh. tapi setidaknya masyarakat bisa tau , sadar dan melek hukum.

 


Info Pemilu 2014

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014


Wajah Hukum Indonesia

Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan. Di awal tahun 2010 ini, kita dapat mengatakan semua institusi penegak hukum dalam proses pidana mendapat sorotan yang tajam.

Dari kepolisian kita akan mendengar banyaknya kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap seorang tersangka yang dilakukan oknum polisi pada saat proses penyidikan. Terakhir perihal kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Institusi kejaksaan juga tidak luput dari cercaaan, dengan tidak bisa membuktikannya kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan dengan tidak profesioanl dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu. Akhirnya proses pidana sampai di tangan hakim (pengadilan) untuk diputus apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat telah menyebabkan adanya berbagai aksi yang merujuk pada kekecewaan pada hukum. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimppinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Meskipun kebenarannya sampai saat ini belum terbukti, namun kasus ini menunjukkan bahwa pengadilan masuk sebagai lembaga yang tidak dipercaya oleh masyarakat. Jika kita sudah tidak percaya lagi pada pengadilan, pada institusi mana lagi kita akan meminta keadilan di negri ini?

Mafia peradilan ternyata tidak hanya menyeret nama hakim semata, tetapi justru sudah merebak sampai pegawai-pegawainya. Panitera pengadilan yang tugasnya tidak memutus perkara ternyata juga tidak luput dari jerat mafia suap. Bahkan kasus suap ini telah menyeret beberapa nama sampai ke pengadilan. Ironisnya mafia ini juga sampai ke tangan para wakil rakyat yang ada di kursi pemerintahan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan” sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.

Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:

  1. Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
  2. Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan social
  3. Inkonsistensi dalam penegakan hukum
  4. Masih adanya intervensi terhadap hukum
  5. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
  6. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum
  7. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum
  8. Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy.

Selain lembaga-lembaga yang telahh disebut di atas masih ada lembaga lain yang terkait dengan penegakan hokum di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan. Keberadaan MK yang didasarkan pada UU 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu control atas peran DPR yag berperan sebagai lembaga legislative. Mekanisme control ini diwujudkan dengan kewenangannya untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang yang dibuat oleh DPR. Seperti telah disebut di atas bahwa ada kalanya pembuatan Undang-Undang yang ada di Indonesia tidak dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan, sehingga perlu adanya suatu kontrol untuk menilai apakah Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sampai hari ini kiranya MK telah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai garda penjaga konstitusi. Sebagai penafsir konstitusi yang tertinggi, apapun yang diputuskan oleh MK memang harus diikuti, terlepas dari perdebatan yang ada di MK dalam menilai suatu perkara. Dalam tugas lain juga saya menilai MK dapat berperan dengan baik, ini karena tugas MK yang senantiasa terkait dengan penafsiran terhadap UUD 1945 dan selama ini senantiasa berpegang teguh pada pendiriannya tanpa terpengaruh oleh pihak lain. Hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan MK adalah terkait dengan hukum acara MK. Yang belum jelas. Artinya perlu diabuatkan suatu UU yang mengatur tata cara berperkara di MK, mengingat selama ini pengaturannya masih menggunakan pedoman dari MK

Konsep Reformasi Hukum
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi Hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain:

  1. Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
  2. Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
  3. Aparatur penegak hukum yang professional
  4. Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
  5. Pemajuan dan perlindungan HAM
  6. Partisipasi public
  7. Mekanisme control yang efektif.

Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum yang disampaikan oleh Lawrence Friedman yang meliputi:

  1. Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
  2. Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
  3. Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.

Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:

  1. Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas;
  2. Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
  3. Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
  4. Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum;
  5. Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
  6. Penerapan konsep Good Governance.

Selain pencegahan, pengejaran dan pengusutan kasus-kasus korupsi, pemerintah harus terus berusaha mengejar aset dan memulihkan kerugian negara. Disamping itu, pemerintah juga harus tetap melanjutkan upaya serupa untuk mengatasi aksi terorisme dan bahaya lainnya yang dapat memecahbelah keutuhan NKRI serta mencegah berkembangnya radikalisme dan juga meningkatkan pemberantasan segala kegiatan ilegal, mulai dari penebangan liar (illegal Logging), penangkapan ikan liar (illegal fishing) hingga penambangan liar (illegal mining), baik yang lokal maupun yang transnasional. Dari semua itu kiranya korupsi yang akan menjadi sebuah bahaya laten harus menjadi prioritas utama untuk diberantas. Melihat kenyataan, bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang begitu pesat, tetapi kemajuan itu akan tetap ada. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk mewujudkan penegakkan hukum dengan didukung oleh aparat penegak hukum lainnya. Kasus mafia peradilan yang akhir-akhir ini banyak disorot masyarakat akan menjadikan penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum


Penegakan Hukum Indonesia

Indonesia Sebagai Negara Hukum

            Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen.  Berdasarkan rechstaat sebagai landasan konseptual, itu menggambarkan bahwa Indonesia tanpa adanya konstitusi pun merupakan negara yang selalu berdasarkan hukum.  Ini pun menjadi keadaan yang faktual seperti cerita lama Van Vollen Hoven yang menunjukkan adanya 19 wilayah hukum (rechtskringen) di Indonesia.
Penegakkan Hukum Di Indonesia
         
Dari penjelasan di atas, pada dasarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hukum.  Kata hukum disini seperti hal yang sudah tidak ada nilainya untuk rakyat menengah kebawah.   Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun sangat tumpul jika digunakan ke atas.  Hukum di Indonesia saat ini dapat dikendalikan dengan mudahnya oleh orang-orang yang berkuasa.  Maksud orang-orang yang berkuasa disini adalah unsur politik.  Semuanya dapat dikendalikan, hal ini memicu terjadinya Negara kekuasaan sentralis (machstaat).
            Unsur politik merupakan unsur utama yang menjadikan hukum di Indonesia seperti Negara yang tidak mempunyai hukum.  Banyak masalah-masalah Negara yang ditimbulkan oleh unsur politik.  Bahkan  Ketua KPK pun mengakui salah satu masalah Negara yaitu  proses pemberantasan korupsi terhambat oleh politik(Republika, Rabu, 27 Juli 2001).  Kasus-kasus hukum saat ini cenderung  melibatkan organisasi politik dan jabatan.  Syafi’i ma’arif menyatakan  jika keadaan hukum saat ini tidak segera diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakkan hukum di Indonesia.
            Hukum saat ini cenderung sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan para penguasa-penguasa Negara.  Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyabab hancurnya penegakkan hukum di Indonesia.
Faktor-Faktor Hancurnya Sebuah Penegakkan Hukum
1.   Penegak hukum menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan.
Contoh : pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
2.   Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.
Ketidakadilan Dalam Hukum
            Dunia hukum saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai masyarakat dalam negeri maupun luar negeri.  Bagaimana tidak, selain tidak benar-benar dijalankan berdasarkan pancasila dan UUD, hukum Negara di Indonesia juga tidak seimbang.  Terlihat jelas bahwa kasus-kasus lebih memberatkan pada masyarakat kecil seperti contoh di atas yaitu kasus sandal jepit sedangkan para pejabat pemerintahan yang kasus-kasusnya bisa direkayasa dengan mengandalkan uang dan jabatan tinggi, sampai saat ini kasus tersebut masih belum selesai dengan tanggapan yang minim dari para penegak hukum pemerintahan Indonesia.  Hal tersebut membuktikan bahwa hukum di Indonesia tidak sesuai dengan hukum Negara yaitu sila kelima dalam pancasila yang bunyinya : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
            Contoh kasus yang membuktikan bahwa tidak adanya keadilan dalam hukum di Indonesia.    Di Indonesia kita bisa melihat seberapa mudahnya memutar-balikkan suatu kasus. Bagaimana suatu kasus kecil dapat menjadi besar, dan sebaliknya, kasus besar yang menghabiskan uang Negara bisa di buat menjadi lebih ringan atau dianggap sebagai kasus kecil. Contoh saja di Banyumas, Jawa Tengah seorang nenek mengambil 3 buah kakao yang bernilai Rp 2000 milik PT. Rumpun Sari Anta (RSA) yang mendapatkan hukuman pidana 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Sedang dalam kasus Panda Nababan yang berkedudukan selaku sekretaris fraksi PDIP yang di duga menerima uang suap Rp 1,5 miliar dalam kasus travel cek dalam pemilihan Deputi Gubernur senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang diungkap oleh jaksa penuntut umum komisi pemberantasan korupsi (KPK) hanya diberi hukuman selama 1 tahun 5 bulan. Menyedihkan sekali melihat para penegak hukum di Indonesia tidak berlaku adil terhadap semua kalangan masyarakat.
Walaupun kasus ini masih diduga adanya rekayasa, tetapi kita bisa melihat dengan menerima Rp 1,4 miliar para penegak hukum memberikan hukuman 1 tahun 5 bulan sangat tidak sebanding dengan kasus Nenek Minah yang hanya mengambil 3 buah biji kakao yang bernilai Rp 2000 yang kemudian mendapat hukuman selama 1 bulan 15 hari penjara.
Selain kasus-kasus yang terjadi pada kalangan atas dan kalangan bawah.  Hukum di Indonesia juga tercemar oleh para aparat hukum seperti jaksa dan hakimnya. Kasusnya adalah seorang jaksa tidak bisa membuktikan kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan tidak profesional dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.
Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan.  Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.
Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

Sistem Hukum Indonesia

Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang terorganisasi dan kompleks, suatu himpunan atau perpaduan ha-hal atau bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks. Terdapat komponen yang terhubung dan mempunyai fungsi masing-masing terhubung menjadi sistem menurut pola. Sistem merupakan susunan pandangan, teori, asas yang teratur.

 





Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai Bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia sebelumnya juga merupakan bangsa yang telah memiliki budaya atau adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah mengatakan bahwa di Indonesia dahulu banyak berdiri kerajaan-kerajaan hindu-budha seperti Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain-lain. Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih terasa. Salah satunya adalah peraturan-peraturan adat yang hidup dan bertahan hingga kini. Nilai-nilai hukum adat merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar maka tidak heran apabila bangsa Indonesia juga menggunakan hukum agama terutama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan dan juga menjadi sumber hukum Indonesia.
Sejarah Hukum di Indonesia

  • Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga pendudukan Jepang.
a. Era VOC
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
1. Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
2. Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3. Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.
b. Era Liberal Belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus terjadi.
c. Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Politik Etis diterapkan  di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1. Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum;
2. Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3. Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi;
4. Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas;
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian hukum.
Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembaga-lembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.
Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina; ii) Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah: i) Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan polisi kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
  • Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan;
ii) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM. Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.
  • Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
i) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
ii) Mengubah lambang hukum “dewi keadilan” menjadi “pohon beringin” yang berarti pengayoman;
iii) Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965;
iv) Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.
b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan positif  hukum Nasional.
  • Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Semenjak kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie sampai dengan sekarang, sudah dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi antara lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum & HAM; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
  • terdapat perintah dan larangan
  • terdapat sanksi tegas bagi yang melanggar
  • perintah dan larangan harus ditaati untuk seluruh masyarakat

Tiap-tiap orang harus bertindak demikian untuk menjaga ketertiban dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang dapat disebut juga kaedah hukum yakni peraturan-peraturan kemasyarakatan.

Kaedah Hukum
Sumber-sumber yang menjadi kaedah hukum atau peraturan kemasyarakatan:
1. Norma Agama merupakan peraturan hidup yang berisi perintah dan larangan yang bersumber dari Yang Maha Kuasa. Contoh: jangan membunuh, hormati orang tua, berdoa, dll
2. Norma Kesusilaan merupakan peraturan yang bersumber dari hati sanubari. contohnya: melihat orang yang sedang kesulitan maka hendaknya kita tolong.
3. Norma Kesopanan merupakan peraturan yang hidup di masyarakat tertentu. contohnya: menyapa orang yang lebih tua dengan bahasa yang lebih tinggi atau baik.
4. Norma Hukum merupakan peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berisi perintah dan larangan yang bersifat mengikat: contohnya: ttiap indakan pidana ada hukumannya.

Unsur-unsur Hukum

Di dalam sebuah sistem hukum terdapat unsur-unsur yang membangun sistem tersebut yaitu:

1. Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat
2. Peraturan yang ditetapkan oleh instansi resmi negara
3. Peraturan yang bersifat memaksa
4. Peraturan yang memiliki sanksi tegas.

Sifat Hukum
Agar peraturan hidup kemasyarakatan agar benar-benar dipatuhi dan di taati sehingga menjadi kaidah hukum, peraturan hidup kemasyarakata itu harus memiliki sifat mengatur dan memaksa. Bersifat memaksa agar orang menaati tata tertib dalam masyarakaty serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh menaatinya.

Tujuan Hukum
Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Sementara itu, para ahli hukum memberikan tujuan hukum menurut sudut pandangnya masing-masing.

  1. Prof. Subekti, S.H. hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
  2. Prof. MR. dr. L.J. Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.
  3. Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan, dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan”.
  4. Jeremy Betham (teori utilitas), hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
  5. Prof. Mr. J. Van Kan, hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.

Berdasarkan pada beberapa tujuan hukum yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum itu memiliki dua hal, yaitu :

  1. untuk mewujudkan keadilan
  2. semata-mata untuk mencari faedah atau manfaat.

Selain tujuan hukum, ada juga tugas hukum, yaitu :

  1. menjamin adanya kepastian hukum.
  2. Menjamin keadilan, kebenaran, ketentraman dan perdamaian.
  3. Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat.
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan-kekutatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum dapat ditinjau dari segi :
1. Sumber hukum material, sumber hukum yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi, dan filsafat. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan menyatakan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Demikian sudut pandang yang lainnya pun seterusnya akan bergantung pada pandangannya masing-masing bila kita telusuri lebih jauh.
2. Sumber hukum formal, membagi sumber hukum menjadi :
  • Undang-undang (statue), yaitu suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
                   a) Dalam arti material adalah setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dilihat dari isinya mengikat secara umum seperti yang diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
                   b) Dalam arti formal adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang karena bentuknya dan dilibatkan dalam pembuatannya disebut sebagai undang-undang
  • Kebiasaan (custom/adat), perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama kemudian diterima dan diakui oleh masyarakat. Apabila ada tindakan atau perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan tersebut, hal ini dirasakan sebagai pelanggaran.
  • Keputusan Hakim (Jurisprudensi); adalah keputusan hakim terdahulu yang dijadikan dasar keputusan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara yang sama.
  • Traktat (treaty); atau perjanjian yang mengikat warga Negara dari Negara yang bersangkutan. Traktat juga merupakan perjanjian formal antara dua Negara atau lebih. Perjanjian ini khusus menyangkut bidang ekonomi dan politik.
  • Pendapat Sarjana Hukum (doktrin); merupakan pendapat para ilmuwan atau para sarjana hukum terkemuka yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan.

Penegakan Hukum

Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri ini.

Sekalipun tidak komprehensif perlu ada angkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain : 1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ;

3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcemen’ ) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum [ vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo. Psl.18 ayat (1) dan (4) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ] ; 4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ;.

5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;. 6). Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.